Saturday, May 3, 2014

Ibunda (1986) Review


Akhirnya, persis hari ini, persis sekitar beberapa jam yang lalu, impian gue buat nonton film lama di studio bioskop akhirnya kesampaian. Secara, gue kalo nonton film-film lama ya paling sering nonton streaming di internet. Dan yang paling penting, impian gue buat nonton film ini di bioskop Kineforum akhirnya tercapai di hari ini! Today is such an exciting day, karena gue berkesempatan nonton salah satu film terbaik dari Teguh Karya di tempat yang rada gak biasa pula, di Kineforum. Sebuah indie theater yang gak banyak warga Jakarta tau kalo ada tempat yang diem-diem badass ini.


Sebelum gue lebih ngalor-ngidul lagi ngocehnya saking senengnya hari ini bisa nonton Ibunda, gue mau review filmnya dulu deh yak.

Film Ibunda ini berceritakan Ibu Rakhim (diperankan dengan apik oleh Tuti Indra Malaon), janda seorang priyayi yang mempunyai 4 anak, yang tertua yaitu Farida (Niniek L. Karim), Zulfikar (Alex Komang), Fakhri (lupa nama pemerannya siapa), dan yang bungsu yaitu Fitri (Ria Irawan). Pokok masalah pun berpusat di kedua anak Bu Rakhim, yaitu Zulfikar dan Fitri. Zulfikar, seorang bintang teater musikal yang sedang naik daun, mendapat kontrak untuk memainkan film yang diangkat dari cerita teater musikal yang telah mengorbitkan namanya. Namun keberuntungan yang didapat oleh Fikar tidak semata-mata hoki aja, ada seorang wanita yang terlalu mengatur awal karier Fikar ketika nama Fikar mulai terkenal. Seorang wanita hedonist (malah mungkin lebih tepatnya bisa disebut ‘tante girang’) yang jauh lebih tua dari Fikar, yang membuat Fikar terlena oleh fame yang mulai ia dapat dan akhirnya lupa bahwa ia telah mempunyai istri yaitu Yati (Ayu Azhari) dan anaknya yang masih balita bernama Bambang.


Selain masalah yang muncul dari keluarga dan karier Fikar, ada Fitri yang berpacaran dengan Luke (bah, lupa lagi nama aslinya) seorang laki-laki dari Papua yang sedang menempuh kuliah tingkat akhir. Fitri, yang belum kelar pendidikan SMA nya, bersikeras untuk tetap menjalin kasih dengan Luke walaupun ditentang oleh kakak-kakaknya yaitu Farida dan suaminya yang bernama Gatot (Galeb Husein) dan Fakhri, sampai akhirnya Fitri pun nekat kabur dari rumah karena tidak tahan hubungannya dengan Luke ditentang hanya karena masalah suku dan warna kulit saja. Farida sebagai kakak tertua pun berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dialami adik-adiknya, meskipun anaknya sendiri yaitu Agus, sering mabuk-mabukan karena merasa impiannya banyak ditentang oleh bapaknya yaitu Gatot.

Kalo diliat-liat, mungkin kayaknya peran Bu Rakhim yang diperanin Tuti Indra Malaon di film ini kayak gak mentereng banget ya. Tapi jangan salah sangka dulu, justru disinilah yang bikin Bu Rakhim ini diem-diem badass. Dalam film ini, kebijaksanaan serta rasa keterbukaan yang ditunjukkan Ibu Rakhim adalah penentu bagaimana masalah-masalah yang merundung anak-anak Ibu Rakhim akhirnya tiba ke titik akhir. Gue paling suka bagaimana Bu Rakhim menunjukkan bahwa gak ada salahnya jika Fitri berhubungan dengan orang yang berbeda suku dengannya, yang terpenting adalah akhlak dan pendidikannya. Dan juga bagaimana dia ngejelasin ke Gatot kalo anaknya Gatot, yaitu Agus, pun berhak menentukkan masa depan dan keinginannya dikemudian hari.



Ibu Rakhim ini bener-bener merupakan potret ibu-ibu Jawa yang sama sekali gak kolot, dan surprisingly sangat open-minded, dan juga selalu memastikan bahwa anak-anaknya tidak luput dari perhatian dan kasih sayangnya (you go, Bu Rakhim!). Namun ada satu adegan yang rada bikin gue gimana gitu (menurut gue sih ini spoiler, tapi terserah kalian sih, at least gue udah meringatin kalian) adalah ketika semua anak-anaknya berkumpul ke dalam rumah, dan ibu Rakhim ditinggal sendiri, sebelum akhirnya ia dipanggil oleh pembantunya untuk ikut berkumpul ke rumah. Di adegan ini, entah kenapa gue berpikir kalo ibu Rakhim merasa bahwa semakin renta dirinya, akankah anak-anaknya akan mengasihinya sebesar ibu Rakhim menyayangi dan mengasihi anak-anaknya selama ini? Well, we don’t know.

Mungkin satu hal yang menurut gue rada cliché dari film ini adalah, sepertinya tiap film bergenre family drama, apalagi film-film lama, banyak yang penyelesaian konfliknya itu kayak “konflik dimulai – klimaks terjadi – masalah perlahan selesai sendiri – kumpul-kumpul keluarga sebagai simbol bahwa konfliknya udah beneran kelar”. Walaupun film Ibunda ini kurang lebih melakukan hal tersebut, hal itu gak membuat film ini jadi jelek. Sama sekali enggak. Malahan kalaupun memang ada kelemahan yang berarti, kelemahan-kelemahan itu bisa tertutupi oleh kehangatan yang terjalin antar cast lewat skenario dan akting para cast film. Semuanya membuat kita seakan-akan kayak ngeliat, gausah jauh-jauh lah, kayak ngeliat keluarga kita masing-masing aja deh. Sehingga jadi kayak ngeliat keluarga beneran. Skenario yang dilontarkan pun berjalan sangat alami tanpa dibuat-buat, dan hal ini yang bikin gue bener-bener kagum dan ngerasa waktu pas nonton film ini, gue kayak udah masuk kedalam ruang lingkup keluarga Bu Rakhim, bukan di kursi bioskop Kineforum lagi. Dan gue mau kasih thumbs up buat Tuti Indra Malaon dan Niniek L. Karim yang meranin Bu Rakhim dan Farida dengan kece berat.


Oiya, Ayu Azhari dan Ria Irawan di film ini entah kenapa bikin gue gemes sendiri saking manisnya muka-muka mereka (dulu). Ada satu adegan dimana Alex Komang akan menampar Ayu Azhari, dan suddenly gue denger ada penonton cowok yang dengan hati-hati dan perlahan agak ngejerit “EEEEH ADUH jangan dong” pas Ayu Azhari hampir ditampar beneran. Maklum, tadi kayaknya satu studio isinya cuman sepuluh orang kayaknya, makanya bisa kedengeran banget begitu sekalipun mau ngomongnya pelan-pelan.

Dan ngomongin soal bagaimana screening film ini di Kineforum berlangsung, jadi gue dan supir gue (iya, kita nonton bareng film ini) adalah orang-orang yang paling pertama dateng di Kineforum, dan kita sempet ngobrol-ngobrol dikit sama mas-mas Kineforum yang ramah, namanya Mas Ara kalo gak salah (hey there, Mas Ara!). Setelah nunggu sekitar 1 jam lebih dikit, akhirnya kita diperbolehin masuk ke dalem bioskop. Selama film berlangsung, gue merhatiin banget filmnya, siapa tau ada adegan yang tiba-tiba disensor. Dan ternyata hal itu terjadi, ada 1 adegan yang tiba-tiba langsung di-cut gitu aja, dan ada 1 adegan yang langsung disensor. Rada gak asik sih emang, kalo tiba-tiba ada adegan yang di-cut. Gue aja pas tau ada adegannya di-cut aja langsung cengo sambil plongak-plongok goblok dulu, dan akhirnya baru menerima takdir bahwa emang barusan adegannya di-cut. Heh. Heheuhueheuheuheh.

Untuk format filmnya sih, gue yakinnya kalo film ini ditayangin dari media VCD, bukan reel film aslinya, soalnya walaupun ada film grains nya, tapi gak terlalu banyak juga. Yang paling dominan adalah gambar yang mendadak pixelated dan jadi abu-abu begitulah. Untuk sinematografinya sih, ya kalian tau sendiri kan film lama itu gimana sinematografinya, belum secanggih jaman sekarang. Tapi percaya deh, sinematografinya itu gak lebay, ya menurut gue sih memang biasa aja tapi justru itulah yang bikin gue suka sama film ini. Skenario dan sinematografi yang berlangsung natural begitu aja, itulah kekuatan film tentang potret keluarga yang hangat-hangat tai ayam namun kebetulan dirundung masalah-masalah secara bersamaan ini.

“Ibu,
buku yang habis kau baca,
kini mulai ku baca, baru halaman pertama”


0 comments:

Post a Comment