Wednesday, October 1, 2014

Tabula Rasa (2014) Review


Dari luar, Tabula Rasa terlihat seperti film drama kuliner tentang persaingan masak-memasak, tipikal film-film kuliner yang bertebaran di mana-mana. Tapi ketika penonton disuguhi adegan Hans (Jimmy Kobogau) yang menjadi gembel dan berlari-lari mengejar truk, penonton dibuat sadar kalau Tabula Rasa tidak melulu bercerita tentang masak-memasak: Tabula Rasa bercerita tentang seorang pemuda yang kehilangan mimpi serta arah hidupnya, dan berjuang untuk lepas dari keterpurukannya.

Hans adalah seorang pemuda asal Papua yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Ia memiliki bakat, kemampuan, dan tekad yang kuat untuk bisa menggapai cita-citanya. Ketika nasib berkata lain dan menajdikannya jatuh tanpa arah, Hans bertemu dengan Mak Uwo (Dewi Irawan), yang mengajaknya untuk bekerja di rumah makan padang miliknya. Lewat makanan yang dibuat Hans dan Mak Uwo, pelan-pelan mimpi dan semangat hidup Hans mulai bangkit, sedikit demi sedikit.


Dari segi cerita dan direksi, kombinasi naskah Naskah Tumpal Tampubulon yang menakjubkan serta direksi yang mempesona oleh Adriyanto Dewo benar-benar membuat saya tercengang. Bak kondom dan penis, keduanya menunaikan tugas mereka dengan apik. Tumpal Tampubulon berhasil menunaikan tugasnya  dalam menulis naskah yang diwarnai oleh tema mentor-protege yang diselingi dengan harapan. Kesannya terlihat seperti cerita yang terlalu menggurui atau capraesque, padahal Tabula Rasa itu realistis dan believable, hampir tidak ada adegan yang terlihat cheesy, menye-menye, atau menjual mimpi. Walaupun di beberapa bagian Tabula Rasa agak berjalan dengan lambat, tapi Adriyanto Dewo mengisi layar perak dengan adegan yang begitu enak dilihat oleh mata, membuat saya melupakan kelambatan pace cerita Tabula Rasa dan dibuat terpukau oleh tone  filmnya yang warna-warni.


Akting yang dibawa oleh Jimmy Kobogau dan Dewi Irawan berhasil menarik simpati saya terhadap beban yang mereka tanggung. Didukung dengan akting Ozzol Ramdan dan Yayu Unru sebagai karakter pendukung, konflik serta chemistry yang mereka hadirkan menjadikan Tabula Rasa sebagai sebuah film yang solid dan memikat. Ini ditambah dengan sinematografi yang cantik oleh Amalia Trisna Sari, serta iringan musik yang enak didengar telinga, membuat Tabula Rasa menjadi sebuah sajian sinematis yang menyenangkan dan memuaskan (dan bikin lapar) yang pernah saya alami di bioskop.


Walaupun pada akhirnya konkulusi film ini tidak bisa menyenangkan semua orang, pada akhirnya saya adalah salah satu penonton yang benar-benar puas dengan film ini secara keseluruhan, terlebih lagi kepada endingnya yang mengajak penonton untuk berani menghadapi masa depan dan melangkah maju. Selesai menonton Tabula Rasa, saya mendengar pembicaraan seorang ibu bersama suaminya. Perkataan ibu itu kalau tidak salah:

"Kita kapan ya terakhir kali makan gulai ikan kakap?"

Keluar dari mall, saya mendadak ingin segera pergi ke rumah makan padang, dan menyantap seporsi gulai kepala kakap. Namun ketika saya memeriksa dompet saya, saya sadar kalau uang saya masih dibutuhkan untuk membeli:








Mungkin ini kali ya yang namanya nafsu besar tenaga kurang. Sepertinya saya mesti menabung lebih rajin.

3 comments:

  1. Anjrit! Kepikiran pengen beli Evangelion ori. Dimana, ya TS? Thank's.

    ReplyDelete
  2. Setahu saya...tabula rasa istilah psikologi min :3

    ReplyDelete
  3. Saya pikir tabula rasa ada bahasa indonesia, minimal "rasa" terkait dg rumah makan padang. Ternyata itu istilah londo, bhw manusia dilahirkan seperti kertas putih bersih.. Itukah maksud judul film ini?

    ReplyDelete