Wednesday, January 28, 2015

Festen (1998) Review


Di era sekarang, sangat sulit untuk membedakan film yang direkam dengan teknologi digital dan yang direkam dengan teknologi analog, mengingat hampir seluruh bioskop di seluruh dunia sudah mengganti jenis proyektor mereka dengan DCP (Bahasa anak SMA-nya, infocus buat bioskop). Kalau dulu dengan mudah kita bisa melihat gores demi gores dan grain yang bertebaran di sana-sini, sekarang lewat maraknya teknologi digital, film yang direkam dengan rol film pun di konversi menjadi data digital, membuat kecacatan indah penuh kenangan di layar raksasa itu hilang ditelan badak. Membedakan hasil rekaman analog dengan digital di bioskop yang menggunakan DCP itu rasanya seperti melihat gambar di bawah ini:

Wahai seseorang di cover album debut, apakah kamu Bjork atau Michael Jackson?
Lewat kemunculan film Collateral tahun 2004 silam, seni media rekam dengan teknologi digital pelan-pelan mulai bisa mengimbangi seni media rekam dengan teknologi analog. Kalau jaman dulu Panavision merajai dunia kamera, maka kini, kamera macam RED, ARRI, dan Canon (Canon khusus untuk filmmaker kelas menengah-menengah ngehe sih, pengecualian untuk Frances Ha), mulai sering muncul di roll credit film-film sekarang. Film dengan proses perekaman digital membuat semuanya jadi lebih murah dan mudah. Tapi kalau kita menengok ke dua dekade silam, teknologi digital merupakan anak haram bagi dunia perfilman. Mengingat kualitas gambarnya yang kasar, noise yang tidak sedap, dan tentu saja, tidak adanya film look. Festen adalah sebuah film yang lahir dari gerakan Dogme 95, sebuah gerakan yang memiliki ideologi di mana sebuah film semestinya berpusat kepada akting, tema dan cerita. Apakah Festen yang memiliki teknis kelas menengah-menengah ngehe dapat membuat memuaskan para  penonton yang terbiasa menonton film dengan gambar yang ena-ena? Mari kita telaah.


Christian (Ulrich Thomsen), Michael (Thomas Bo Larsen), dan Helene (Paprika Steen) adalah tiga kakak-beradik yang pulang kampung untuk menghadiri ulang tahun ayah mereka, Helge (Henning Mortizen). Tamu-tamu pun mulai berdatangan menuju ke tempat kediaman Helge, meramaikan perayaan ulang tahun Helge yang ke-60. Saat jamuan sedang berlangsung, Christian mendentingkan gelasnya, meminta perhatian seluruh tamu yang hadir, lalu mengatakan sesuatu yang akan merubah perayaan yang semestinya dipenuhi canda tawa menjadi perayaan penuh keheningan.


Festen menghantam para penontonnya lewat dialog-dialog yang tajam dan kuat. Mulut saya bahkan sampai melongo 5 menit ketika, salah satu karakternya mengatakan sesuatu yang saya yakini akan membuat setiap orang yang mendengarnya terguncang. Konfrontasi para karakter di rumah terpencil Helge menambah kesan terisolasi dari dunia luar dan feel claustrophobic yang amat terasa. Padahal Festen masuk dalam film berkategori drama, tapi rasa takut dan was-was yang saya dapatkan tidak kalah gilanya seperti ketika saya menonton Dial M For Murder. Akting para karakternya juga memenuhi kodrat yang telah ditentukan oleh si penulis naskah. Tidak ada akting yang terlalu biasa atau terlalu berlebihan, semuanya berhasil menunaikan tugasnya sebagai para karakter yang terjebak di situasi yang membuat dahi mengernyit. 


Dari segi teknis, pergerakan kamera dan sudut-sudut pengambilan gambar yang hadir terasa ganjil mengingat 100% gerakan kamera di Festen dilakukan secara handled, tanpa bantuan alat macam steadycam ataupun tripod sama sekali. Tidak sampai membuat pusing dan mual, tapi mungkin akan memunculkan perasaan disorientasi di menit-menit awalnya. Kualitas gambarnya juga termasuk butek khas film-film indie yang direkam dengan camcorder. Tidak ada yang istimewa. Namun usaha Vinterberg merekam seluruh gambar di film ini tanpa menggunakan cahaya artifisial patut dihargai. Untuk tata suara, entah berapa kali suara dan mulut para karakternya tidak pas. Penonton yang memiliki selera FTV sekalipun mungkin akan dengan mudahnya menunjuk kekurangan-kekurangan yang hadir di Festen. Tapi selama kekurangan itu tidak mempengaruhi kontinuitas dan perkembangan cerita, toh tidak masalah bukan?


Tidak ada tempat bagi Stanley Kubrick atau Orson Welles dalam gerakan Dogme 95. Lewat Festen, Thomas Vinterberg membuktikan kalau tidak ada suatu hal apapun yang dapat membatasi pembuatan sebuah film. Film pada hakikatnya adalah gambar bergerak yang bercerita. Selama film bergerak dan bercerita, film, entah itu digital atau analog, fiksi atau dokumenter, animasi 2D atau animasi 3D, hitam putih atau berwarna, anamorphic atau full screen, CGI atau non CGI, Hollywood atau Indie, film tetaplah sebuah film. Film sampai kapanpun akan terus bergerak dan bercerita selama kehidupan terus berjalan. Di tahun 1998, tepat di saat Festen dirilis, untuk waktu yang sangat singkat, Thomas Vinterberg adalah sutradara terbaik di dunia.

2 comments:

  1. Hey.. this is one of my favorite movie with unique style Dogme 95

    ReplyDelete