Friday, April 17, 2015

Filosofi Kopi (2015) Review


Kopi. Satu kata yang tentu sangat akrab di telinga banyak orang, khususnya orang Indonesia yang memang suka banget ngopi. Mulai dari kalangan tua sampai muda, berstatus sosial apapun, mau yang ngopinya di warkop dan kopinya dituangin dikit-dikit ke piring kecil, sampai ngopi di coffee shop semacam Starbucks dan konco-konconya, atau bahkan sampai ke para siswa/mahasiswa yang malem-malem suka nyeduh kopi hitam untuk menemani di kala nyelesain tugas-tugas sekolah/kuliah, semua orang dibuat jatuh cinta oleh kopi. Termasuk gue pribadi. Everything that includes coffee in it always excites me

Segelintir di antaranya adalah ketika Dewi Lestari membuat kumpulan cerita pendek berjudul Filosofi Kopi di pertengahan tahun 2000-an, bahkan sampai salah satu cerita pendeknya diadopsi ke dalam bentuk film dengan judul buku yang sama, yaitu Filosofi Kopi. Sebagai orang yang ngaku suka kopi, akhirnya gue cepat-cepat pergi ke bioskop untuk nonton film ini setelah Ujian Nasional usai beberapa hari lalu.



Di film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko ini, kita diajak untuk berkenalan dengan dua orang sahabat yang sudah bersama-sama sejak kecil, yaitu Ben (Chicco Jerikho), seorang pecinta kopi yang free-spirited dan ambisius, dan Jody (Rio Dewanto), yang sering dicap sebagai orang yang sangat perhitungan oleh Ben. Dua sahabat ini membuat sebuah kedai kopi bernama Filosofi Kopi, sesaat setelah ayah dari Jody berpulang. Ben yang sudah akrab mengolah biji kopi sejak kecil pun didapuk menjadi barista, sementara Jody yang mengurus keuangan kedai kopi tersebut. Konflik pun bermulai ketika Jody baru tahu bahwa almarhum ayahnya meninggalkan utang yang nominalnya nyaris menyentuh angka 1 milyar rupiah, dan merupakan tanggung jawab Jody untuk melunasi utang tersebut. 

Semakin hari, Ben dan Jody semakin panik karena angka pendapatan dari kedai milik mereka mulai merosot dan mereka mulai didatangi oleh debt collector (Joko Anwar). Kepanikan mereka berlanjut sampai akhirnya seorang pengusaha kaya raya (Ronny P. Tjandra) dan asistennya (Tara Basro) menawarkan sebuah tantangan pada Ben dan Jody untuk membuat kopi house blend terbaik di Jakarta, bahkan di Indonesia, yang jika mereka berhasil membuat kopi terbaik tersebut, mereka akan diberi hadiah uang yang nominalnya bisa menutupi utang yang dimiliki ayah Jody. Ben dan Jody pun menerima tawaran menarik tersebut, dan mereka diberi tenggat waktu untuk membuat racikan kopi terbaik tersebut.


Ben pun berusaha sendiri untuk membuat racikan kopi terbaik tersebut, sampai akhirnya ia menemukan racikan kopi paling apik yang pernah ia buat. Orang-orang di Filosofi Kopi pun sontak menamakan kopi itu sebagai Ben’s Perfecto. Ben dan Jody pun menjadi sangat percaya diri akan kopi Ben’s Perfecto tersebut sampai akhirnya datang seorang Q-grader bertaraf internasional yaitu El (Julie Estelle). El berkata pada Ben dan Jody bahwa ia pernah mencicipi kopi yang bercita rasa lebih baik dibandingkan Ben’s Perfecto. Kopi itu bernama Kopi Tiwus dan hanya bisa didapatkan di daerah Ijen, Jawa Timur. Ben, Jody, dan El pun bergegas pergi ke Ijen untuk mencicipi Kopi Tiwus yang diracik oleh Pak Seno (Slamet Rahardjo) dan Bu Seno (Jajang C. Noer). Lewat Kopi Tiwus, mereka diajak untuk menilik kembali pahitnya masa lalu dan mengenal lebih dalam atas apa yang dinamakan dedikasi yang berlandaskan cinta.


Okay, gue berani bilang bahwa Filosofi Kopi adalah satu-satunya film dari adaptasi cerita yang ditulis Dewi Lestari yang gak mengecewakan. Kerasa banget kalau film ini digarap dengan serius, lewat dialog-dialog lucu dan menyegarkan yang sering dilontarkan Ben dan Jody, sinematografi yang ciamik, skenario yang cerdas, dan minimnya plothole udah cukup jadi bukti-buktinya. Seharusnya film-film Indonesia yang lain bisa se-membanggakan ini, termasuk film-film yang diadaptasi dari novel dan cerpen karya Dee yang terdahulu. 


Memang film ini bukan berarti tanpa cela, tapi adanya porsi untuk iklan suatu produk yang lumayan sering terlihat berhasil ditutupi oleh aspek-aspek positif di film ini yang membuat hal tersebut menjadi termaafkan. Dan ada satu hal yang masih menghantui pikiran gue ketika gue keluar dari studio bioskop, yaitu (so sorry, but this contains a spoiler) penyebab kematian dari ibunya Ben. Karena tidak dijelaskan begitu gamblang, gue pun ternyata masih harus memutar otak lagi setelah keluar dari studio sampai akhirnya gue menemukan jawabannya. Mungkin itu memang disengaja sebagai teka-teki, I don’t really know.


Untuk urusan acting, gue punya penilaian tersendiri sama Chicco Jerikho. Iya, yang awalnya kita ngenal dia sebagai pemain sinetron itu, sekarang jadi aktor film yang layak diperhitungkan. Gue gak ngerasa hal yang gue sebutin tadi itu berlebihan sih, ya pantes aja gitu tahun lalu dia menangin Aktor Terbaik FFI, lha wong ternyata actingnya sebagus itu sekarang! Gue yakin sih, kalo Chicco dapat jam terbang lebih dan kebetulan bisa dapat peran-peran yang menarik, doi bisa nyaing-nyaingin kang mz Reza Rahadian. Rio Dewanto dan Julie Estelle juga gak kalah bagus mainnya, apalagi Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer. Scene ketika Pak Seno sama Bu Seno ngejelasin tentang Kopi Tiwus sukses bikin air mata gue meleleh seketika.


Overall, Filosofi Kopi ini bisa dianalogikan dengan satu cangkir kopi hangat yang nikmat. Walau ada jejak-jejak pahit yang terasa, namun bisa bikin hati jadi lebih ena-ena. Salut buat film ini!

“Walau tak ada yang sempurna,
hidup ini indah begini adanya.”


p.s.: Buat kalian yang berminat ingin nonton Filosofi Kopi, perlu diinget bahwa setelah film ini selesai, ada 2 credit scenes yang sayang buat dilewatin (Gue cuman nonton 1 credit scene karena gak tau kalo abis itu ada satu credit scene lagi. Meh. Jangan ikutan nyesel juga ya guys!)

0 comments:

Post a Comment